By; Ali Syarief
Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, pertanyaan mendasar tentang siapa yang memiliki otoritas moral dan spiritual mulai bergeser. Temuan dari CEO OpenAI, Sam Altman, dalam forum AI Ascent milik Sequoia Capital menyoroti fenomena global: generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, mulai menjadikan ChatGPT bukan hanya sebagai alat bantu informasi, tetapi sebagai penasihat hidup.
Namun ini bukan sekadar isu teknologi. Ini adalah gejala sosial dan kultural yang menjalar ke berbagai belahan dunia, dengan implikasi serius bagi tradisi, agama, dan otoritas komunitas lokal.
Dari Kyoto ke Kairo, dari Minnesota ke Madura
Di Jepang, negara yang terkenal dengan budaya senyap dan pencarian makna dalam harmoni, generasi muda kini cenderung menghindari percakapan emosional secara langsung. Mereka lebih nyaman bertanya pada ChatGPT tentang dilema pribadi ketimbang berdialog dengan orang tua atau biksu Zen. Mesin dianggap lebih netral, tidak menghakimi, dan tidak membawa beban relasi sosial.
Sementara di dunia Barat—khususnya Amerika Serikat—peran pastor atau konselor gereja perlahan tergantikan oleh chatbot yang tersedia 24 jam. Di tengah budaya individualisme dan pencarian instan, ChatGPT menjadi tempat curhat yang efisien dan tidak menuntut imbal balik emosional.
Namun dampak paling menarik justru terlihat di dunia Muslim dan masyarakat Asia Tenggara. Di Indonesia, misalnya, generasi muda di kota-kota besar mulai mengakses ChatGPT untuk bertanya hal-hal yang dulu dianggap eksklusif dalam domain agama: apakah boleh pacaran? bagaimana cara menenangkan hati saat kehilangan orang tua? apa pilihan hidup terbaik setelah gagal kuliah?
Pertanyaan-pertanyaan yang dulu ditujukan kepada kiai, ustaz, atau orang tua kini diarahkan kepada algoritma. Mesin berbasis teks menjadi pengganti relasi intergenerasional yang dulu menjadi tulang punggung transmisi nilai budaya.
Ketika Tradisi Disalip oleh Algoritma
Bagi banyak budaya di Timur, terutama yang memiliki sistem kekerabatan kuat dan struktur sosial hirarkis, fenomena ini menciptakan ketegangan. Di satu sisi, anak muda merasa merdeka dari dogma. Di sisi lain, masyarakat tradisional merasa kehilangan kendali atas narasi hidup generasi penerus.
Para pemuka agama dan tokoh adat di berbagai tempat—dari India hingga Afrika Barat—menghadapi tantangan baru: bagaimana mengimbangi kecepatan dan daya tarik AI dalam memberikan jawaban?
Lebih gawat lagi, AI seperti ChatGPT tidak terikat oleh batas agama, etika lokal, atau kearifan tradisional. Saran yang diberikan bersifat universal, netral, bahkan kadang nihil moralitas. Ini tentu berlawanan dengan narasi spiritual di berbagai budaya yang mengakar pada norma ilahi, ajaran leluhur, dan sistem nilai kolektif.
Apakah Ini Tanda Kemunduran atau Evolusi?
Pertanyaannya bukan hanya apakah AI menggantikan peran tokoh agama? tapi lebih dalam lagi: apa yang kita anggap sebagai sumber otoritas kebenaran dalam masyarakat global?
Bagi sebagian budaya, ini mungkin tanda kemunduran spiritual—robot tidak memiliki nurani, tidak bisa menangis, tidak bisa berdoa. Tapi bagi lainnya, ini mungkin bentuk baru dari evolusi pengetahuan—di mana manusia menciptakan entitas yang mampu membantu menjawab teka-teki hidup secara rasional dan efisien.
Namun, dalam tafsir lintas budaya, satu hal menjadi jelas: AI bukan hanya teknologi. Ia adalah aktor budaya baru yang ikut merumuskan masa depan manusia.
Jika para pemuka agama dan penjaga tradisi tidak cepat menyesuaikan diri, maka mereka akan ditinggalkan dalam sejarah sebagai penjaga kearifan yang gagal berkomunikasi dalam bahasa zaman.
Dan ketika generasi muda bertanya bukan pada ayah atau guru spiritualnya, melainkan pada mesin, maka dunia kita tak hanya berubah secara teknologis, tapi juga secara spiritual.