
By: Ali Syarief
The rapid advancement of artificial intelligence (AI) challenges fundamental concepts of humanity. In an era where AI becomes increasingly autonomous, will humans be reduced to mere biological entities, devoid of the culture that shapes their character and life’s meaning? This question is not merely a philosophical speculation but a reality we must confront.
Culture is not merely what is visible on the surface, such as art, language, or traditions. It is a set of values internalized by individuals, shaping their character and thought processes. This heritage is intrinsic to human beings as creatures that interact and interpret their world. Culture comprises habits, norms, and customs that guide humans in comprehending life beyond mechanical functions.
Conversely, AI does not possess culture in this sense. AI merely stores data as neutral memory that can be processed and manipulated to respond to specific situations. However, AI lacks the organically embedded values that shape meaning and character as humans experience. In other words, AI can mimic cultural expressions but does not possess an inherent “cultural sense.”
As humans increasingly delegate various aspects of life to AI—decision-making, artistic creation, and even social interactions—a significant danger looms. If humans lose their cultural sense as an integral part of their existence, they risk being reduced to mere biological entities—living, functioning, but devoid of uniqueness and profound life meaning. The anticipated Era 5.0, which aims for harmony between humans and AI, could instead threaten human essence if cultural meaning is neglected.
Humans are indeed intelligent, but will this intelligence ultimately lead to their own demise? As AI assumes more cognitive functions, will humans still retain their ability to think freely, create, and derive unique meanings from life? Or will they become beings that merely exist to fulfill basic needs without existential depth?
It is crucial not only to adapt to AI but also to ensure that AI does not replace the cultural aspects that define human identity. Technology should serve as a tool to enrich human experience rather than reduce humanity to mere biological existence. If caution is not exercised, the AI era could become one where humans, once the creators of civilization, lose their essence and remain only as biological organisms.
AI dan Ancaman Reduksi Manusia Menjadi Hewan Biologis
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang semakin pesat menantang konsep dasar tentang kemanusiaan. Apakah manusia, dalam era AI yang semakin otonom, hanya akan tersisa sebagai entitas biologis belaka, tanpa budaya yang membentuk karakter dan makna hidupnya? Pertanyaan ini bukan sekadar spekulasi filosofis, melainkan realitas yang harus kita hadapi.
Budaya tidak sekadar apa yang tampak di permukaan, seperti seni, bahasa, atau tradisi. Budaya adalah seperangkat nilai yang menginternalisasi diri dalam individu, membentuk karakter dan pola pikirnya. Ini adalah warisan yang melekat pada manusia sebagai makhluk yang berinteraksi dan memaknai dunianya. Dalam budaya terdapat kebiasaan, tata laku, dan norma yang mengarahkan manusia untuk memahami kehidupan secara lebih dari sekadar mekanis.
Di sisi lain, AI tidak memiliki budaya dalam pengertian ini. AI hanya menyimpan data sebagai memori netral yang dapat diproses dan dimanipulasi untuk merespons situasi tertentu. Namun, AI tidak memiliki nilai yang tertanam di dalamnya secara organik. AI tidak mengalami internalisasi budaya yang membentuk makna dan karakter seperti yang dialami manusia. Dengan kata lain, AI dapat meniru ekspresi budaya, tetapi ia tidak memiliki “rasa budaya” itu sendiri.
Ketika manusia mulai menyerahkan banyak aspek kehidupan kepada AI, seperti pengambilan keputusan, pembuatan seni, hingga interaksi sosial, ada bahaya besar yang mengintai. Jika manusia mulai kehilangan pemaknaan budaya sebagai bagian integral dari keberadaannya, maka manusia berisiko mengalami reduksi menjadi sekadar entitas biologis—hidup, berfungsi, tetapi kehilangan keunikan dan kedalaman pemaknaan hidupnya. Era 5.0, yang diharapkan menjadi puncak harmoni antara manusia dan AI, justru dapat menjadi ancaman bagi esensi manusia itu sendiri jika pemaknaan budaya terabaikan.
Manusia memang cerdas, tetapi apakah kecerdasannya akan berujung pada kehancurannya sendiri? Ketika AI semakin mengambil alih fungsi kognitif manusia, apakah kita masih akan memiliki kebebasan berpikir, berkreativitas, dan memaknai hidup dengan cara yang unik? Ataukah kita akan menjadi makhluk yang hanya hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar tanpa kedalaman eksistensial?
Penting bagi kita untuk tidak sekadar beradaptasi dengan AI, tetapi juga memastikan bahwa AI tidak menggantikan aspek budaya yang membentuk identitas kita sebagai manusia. Teknologi harus menjadi alat untuk memperkaya pengalaman manusia, bukan sebaliknya, menjadikan manusia sekadar organisme yang hidup tanpa makna. Jika kita tidak berhati-hati, era AI bisa menjadi era di mana manusia, yang dulu pencipta peradaban, justru kehilangan jati dirinya dan hanya tersisa sebagai makhluk biologis belaka.