CultureFeature

Diksi dan Semiotika Lita’arafu dalam Al-Hujurat 13: Sebuah Jembatan Cross-Cultural Understanding

Oleh: Ali Syarief

Di antara ayat-ayat yang bergema dalam lorong-lorong kebijaksanaan, Al-Hujurat ayat 13 menjelma sebagai cermin yang menyorot hakikat keberagaman manusia. Kata-kata yang tertata rapi dalam langgam ilahi bukan sekadar susunan huruf, tetapi juga gema makna yang melampaui batas ruang dan waktu. Di sanalah terselip diksi lita’arafu, sebentuk panggilan semesta agar manusia saling mengenal, memahami, dan merajut benang persaudaraan di antara keberagaman.

Lita’arafu: Sebuah Semiotika Perjumpaan

Lita’arafu dalam ayat ini bukan sekadar kata kerja yang menuntun manusia untuk mengenal satu sama lain. Ia bukan hanya tentang pengenalan yang sebatas kulit, melainkan sebuah perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam, menuju kearifan yang tumbuh dari interaksi, dialog, dan penerimaan. Dalam semiotika, lita’arafu adalah tanda yang menuntun pada makna besar: bahwa keberagaman adalah fakta yang harus diresapi, bukan disangkal.

Perbedaan suku, bangsa, dan bahasa bukanlah sekat, tetapi jembatan. Lita’arafu menjadi ajakan untuk menyeberangi jurang prasangka, untuk menanggalkan label-label yang membelenggu persepsi. Seperti laut yang menghimpun berbagai arus, begitu pula manusia yang ditakdirkan untuk saling bertemu, saling bertukar kisah, dan saling belajar dari perbedaan.

Diksi yang Menyatukan, Bukan Memisahkan

Bahasa adalah rumah bagi pikiran dan budaya, dan diksi dalam Al-Hujurat 13 menunjukkan betapa Islam menempatkan keberagaman sebagai bagian dari sunnatullah. Kata syu’uban wa qaba’ila (suku-suku dan bangsa-bangsa) bukan hanya menunjukkan fakta sosial, tetapi juga mengisyaratkan kebinekaan sebagai anugerah. Kata lita’arafu bukan hanya menunjukkan perintah untuk mengenal, tetapi juga membuka cakrawala kesadaran: bahwa setiap pertemuan adalah kesempatan untuk membangun pengertian.

Dalam konteks cross-cultural understanding, ayat ini menegaskan bahwa interaksi antarbudaya bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Perjumpaan dengan “yang lain” bukanlah ancaman, tetapi peluang untuk merayakan kemanusiaan. Dunia yang semakin mengecil oleh teknologi dan globalisasi menjadikan pesan lita’arafu semakin relevan. Identitas tidak harus melebur dalam satu warna, tetapi bisa berdampingan dalam harmoni, seperti pelangi yang justru indah karena keberagaman warnanya.

Dari Makna ke Aksi

Jika lita’arafu adalah diksi yang penuh makna, maka ia harus dihidupkan dalam tindakan. Ia harus menjadi etika dalam berkomunikasi, menjadi dasar dalam membangun kebijakan, dan menjadi ruh dalam setiap interaksi sosial. Cross-cultural understanding bukan hanya teori dalam ruang akademik, tetapi praktik yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia hadir dalam kesediaan untuk mendengar sebelum menghakimi, dalam keberanian untuk bertanya sebelum menyimpulkan, dan dalam ketulusan untuk menerima bahwa setiap manusia memiliki nilai dan martabat yang sama di hadapan Tuhan.

Di penghujung perjalanan, lita’arafu mengajarkan bahwa mengenal adalah awal dari mencintai, memahami adalah awal dari menghargai. Di dalamnya ada cahaya yang membimbing manusia keluar dari kegelapan prasangka, menuju terang yang memancarkan keindahan dari keberagaman. Maka, bukalah jendela hati, biarkan angin dari budaya lain menyentuh nurani, dan temukan makna bahwa kita semua sejatinya adalah satu, hanya berbeda dalam warna.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button